Opini

Tantangan Integritas Badan Ad Hoc Penyelenggara Pemilu Tahun 2024

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Badan adhoc penyelenggara Pemilu adalah panitia pemilihan yang bersifat sementara. Dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad Hoc Penyelenggara Pemilihan Umum bahwa Badan ad hoc adalah Anggota dan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Anggota dan Sekretariat Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Kolompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih/Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Badan ad hoc merupakan penyelenggara pemilihan yang langsung bersentuhan dengan peserta Pemilu karena bekerja di level bawah, bersifat sementara, sekaligus sebagai garda terdepan dalam melayani pemilih dan peserta. Badan ad hoc juga disebut merupakan tulang punggung demokrasi, mengingat perannya yang sangat krusial dalam beberapa tahapan Pemilu. Sebut saja mulai tahapan, pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih, distribusi logistik, pemungutan dan penghitungan suara hingga rekapitulasi hasil penghitungan suara. Badan ad hoc menjadi bagian yang penting lagi ujung tombak dalam penyelenggaraan Pemilu. Pemilu merupakan salah satu wujud dalam pelaksanaan demokrasi. Global Commission on Elections, Democracy and Security telah memberikan standar yang tinggi bagi Pemilu suatu negara dianggap kredibel. Salah satu parameter kepercayaan publik terhadap Pemilu adalah integritas penyelenggara Pemilu. Ketika Pemilu memiliki integritas, prinsip dasar demokrasi yaitu kesetaraan politik dihormati. Apabila Pemilu dianggap tidak berintegritas, kepercayaan publik akan melemah, pemerintah akan kurang legitimasinya. Lalu, bagaimana ukuran orang atau lembaga dikatakan berintegritas? _Global Commission on Elections, Democracy and Securitiy Report, 2012, menyebutkan bahwa integritas adalah sesuatu yang tidak dapat disuap atau kepatuhan yang kokoh pada pedoman nilai dan moral. Jadi untuk mengatakan seorang memiliki integritas adalah dengan mengatakan bahwa ia telah berbuat berdasarkan pedoman beretika dan tidak dapat disuap dengan pertimbangan apapun. Maka dapat dikatakan bahwa integritas maupun disintegritas merupakan persoalan sosiologis yang dibebankan kepada perseorangan maupun lembaga. Integritas menjadi modal yang sangat penting bagi penyelenggaraan Pemilu. Integritas adalah modal dasar menjadi seorang wasit dalam sebuah pertandingan. Maka, sepatutnya para penyelenggara Pemilu, termasuk badan ad hoc, mengejawantahkan prinsip Pemilu versi standar IDEA yaitu independen, imparsial, integritas, transparan, efesien, profesional, pelayanan publik dan bertanggung jawab.  Atau, sebagaimana termaktup dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Mengingat begitu banyak kasus pada Pemilu 2019 terkait malpraktek pemilu (electoral malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct), manipulasi pemilu (electoral manipulation), kecurangan pemilu (rigged/ stolen elections) atau istilah lainnya yang melibatkan atau bahkan yang dilakukan langsung oleh badan ad hoc.  Sebagaimana laporan KPU tahun 2019, ada beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan oleh badan ad hoc atau setidaknya melibatkan badan ad hoc, antara lain: mencoblos suara sisa, penggelapan gaji KPPS, memihak pada peserta Pemilu tertentu/tidak netral, terdaftar sebagai pengurus Parpol, ikut berkampanye bagi peserta Pemilu, membuka kotak suara tanpa dihadiri saksi dan pengawas TPS, tidak memberikan salinan DAA1-KPU kepada Panwascam, memanipulasi atau penggelembungkan perolehan suara calon tertentu dan mencoblos surat suara milik pemilih yang tidak hadir. Laporan dari Biro Perencanaan dan Data KPU RI per Juli 2019 terkait penanganan pelanggaran badan ad hoc Pemilu 2019 antara lain: jumlah kasus sebanyak 542 kasus, dari jumlah tersebut yang mendapat sanki peringatan sebanyak 325 orang, diberhentikan semantara 78 orang, diberhentikan tetap sebanyak 239 orang, dipidana sebanyak 3 orang dan yang masih dalam pemeriksaan sebanyak 165 kasus. Jumlah kasus tersebut ditemukan lebih besar ketimbang pada Pemilu 2014 dengan alasan wewenang yuridis untuk mengadili badan ad hoc yang bermasalah dilimpahkan kepada KPU Kabupaten/Kota yang ditandai dengan munculnya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2020 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Munculnya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 dalam rangka memotong mata ratai yang panjang dalam menanganan dugaan pelanggaran integritas yang dilakukan oleh badan ad hoc. Hal tersebut berkonsekuensi terjadinya peningkatan atas temuan kasus pelanggaran integritas badan ad hoc dari DKPP ke KPU selaku organisasi induk. Menurut Norris, 2014, bahwa pelanggaran integritas merupakan salah satu faktor penyebab suatu penyelenggaraan Pemilu dianggap gagal. Penyebab pelanggaran integritas adalah karena integritas penyelenggara Pemilu yang kurang baik. Pemilu yang gagal dikarenakan penyelenggara Pemilu tidak dapat mengejawantahkan prinsip Pemilu dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara.  Sejumlah kasus pelanggaran integritas yang dilakukan atau melibatkan badan ad hoc menjadi cerminan dalam menyambut penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Setidak-tidaknya regulasi untuk melaksanakan Pemilu 2024 tidak berubah, maka potensi masalah yang terjadi bisa saja sama, semakin kecil atau mungkin juga lebih besar. Mengingat badan ad hoc adalah penyelenggara Pemilu memiliki posisi berada di garda terdepan. Merekalah yang bersentuhan langsung dengan pemilih dan peserta. Mereka pula yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu, mengingat perannya yang sangat strategis dalam melaksanakan beberapa tahapan krusial. Semua tahapan krusial tersebut terdapat celah yang berpotensi terjadinya pelanggaran. Sejumlah pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, menjadi bahan evaluasi dan pelajaran, sekaligus merupakan tantangan bagi penyelenggaraan Pemilu 2024, yaitu mewujudkan proses penyelenggaraan Pemilu yang kompetitif, kredibel, akseptabel, bebas, jujur dan berkeadilan. Juga untuk menghindari terjadinya frasa negatif Pemilu seperti malpraktek pemilu (electoral malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct), manipulasi pemilu (electoral manipulation), kecurangan pemilu (rigged/ stolen elections) atau istilah lainnya. Oleh karena itu, penting mendorong dilakukannya penegakkan integritas badan ad hoc penyelenggara Pemilu secara simultan dengan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, memperkuat integritas badan ad hoc secara normatif dengan menandatangai standar moral yang tertuang dalam Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji, berupa pakta integritas. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah disintegritas yang kerap dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu. Kedua, mengintensifkan bimbingan teknis, sosialiasi atau penyuluhan terhadap badan ad hoc terkait dengan kode etik. Ketiga, memperkuat pengawasan internal maupun eksternal dengan melibatkan penyelenggara Pemilu yang lain. Keempat, memberikan sanksi tegas terhadap para para pelanggar integritas sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.

Mengusung Tema Break The Bias, Peringatan Hari Perempuan Sedunia 2022 Harapkan Kesetaraan Maksimal

Oleh Bintang Fajar Plt. Kasubag Tekmas Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Setiap tanggal 08 Maret, diperingati sebagai International Women’s Day atau yang dikenal dengan Hari Perempuan Internasional. Seluruh dunia merayakan terkait segala hal yang dicapai oleh perempuan di seluruh dunia dalam berbagai bidang. Peringatan ini bermula pada tahun 1977, dimana keputusan PBB meresmikan untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Di tahun 2022 ini, peringatan hari perempuan internasional memiliki tema kampanye #BreakTheBias. Makna dibalik tema yang diusung tersebut karena tanpa disadari banyak adanya sekat maupun bias dalam kehidupan sehari-hari yang membuat perempuan sulit untuk maju. Oleh karena itu diharapkan agar melalui kampanye #BreakTheBias kesetaraan terhadap perempuan dapat tercapai sehingga dunia menjadi lebih beragam, adil, inklusif dan bebas dari bias, stereotip maupun diskriminasi. Dilansir dari dailystar, peringatan di tahun ini telah ditetapkannya sejumlah tujuan untuk bekerja menuju dunia yang ideal bagi para wanita, salah satunya membangun budaya kerja inklusif bagi perempuan sehingga kontribusi mereka dapat diakui dan karir mereka bisa juga lebih maju, selain itu perempuan dapat membangun karier impian mereka. Tidak hanya seputar pengembangan dan kesetaraan dalam karier saja, isu terkait kesehatan wanita pun menjadi konsentrasi juga dalam peringatan ini. Diantaranya berkisar pada isu kepositifan tubuh, isu kesehatan wanita hingga menopause. Selama bertahun-tahun lamanya perempuan menunjukkan bukti dan kekuatannya dapat diperhitungkan di banyak sektor seperti ekonomi, sosial, budaya, politik hingga olahraga. Jadi, sekarang bukan hanya mematahkan hambatan di kaum perempuan namun mematahkan semua bias yang ada saat ini. Apakah anda mau ikut ambil bagian dari kampanye #BreakTheBias 2022 ini?...  

Aktor Pemilu

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Berbicara soal penyelengaraan Pemilu tidak lepas dari para aktor di dalamnya. Penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas dan berintegritas bergantung kepada para aktornya. Apabila aktornya profesional dan berintegritas Pemilu yang luber jurdil, bukan tidak mungkin akan terwujud. Ada dua kelompok aktor dalam penyelenggaraan Pemilu. Pertama, aktor utama. Kedua, aktor pendukung. Aktor utama tidak dapat berjalan sendirian tanpa dukungan dari aktor pendukung. Aktor utama juga tidak dapat menyelesaikan penyelenggaraan Pemilu dengan tuntas jika tidak melibatkan aktor pendukung. Aktor utama Pemilu wajib ada. Karena ketidakhadiran salah satunya, penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Aktor utama Pemilu menjadi penentu, tentang baik buruknya Pemilu. Sehingga menjadi kewajiban bagi aktor utama untuk menjadi aktor yang berkualitas dan berintegritas. Aktor utama dalam penyelenggaraan Pemilu ada tiga, yaitu penyelenggara Pemilu, pemilih dan peserta. Masing memiliki peran, fungsi dan posisi. Penyelenggara Pemilu sebagai panitia, pemilih sebagai dewan juri yang menentukan menang dan kalahnya peserta, sedangkan peserta sebagai peserta dalam kompetisi—dalam hal ini Pemilihan Umum. Sedangkan aktor pendukung meliputi, pemerintah pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan dan lembaga pemantau. Penyelenggara Pemilu Penyelenggara Pemilu terdiri atas tigas unsur, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penyelenggara Pemilu merupakan anak kandung reformasi. Landasan konstitusionalnya dalam pasal 22E ayat (5) disebutkan secara eksplisit, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Sifat nasional, tetap, dan mandiri artinya lembaga penyelenggara Pemilu berada di seluruh kawasan Indonesa, kelembagaannya permanen—tidak ad hoc—dan secara pengelolaan kelembagaan ini mandiri. Mandiri dalam mengelola tugas dan kewenangannya. Frasa ‘suatu komisi pemilihan umum’ maknanya adalah bukan lembaga, tapi satu kesatuan fungsi. Dalam hal ini suatu komisi pemilihan umum terdiri tiga lembaga, KPU, Bawaslu dan DKPP. KPU sebagai penyelenggara di bidang teknis, Bawaslu di bidang pengawasan dan DKPP di bidang etik penyelenggara Pemilu. Awalnya penyelenggara Pemilu hanyalah KPU, sementara panitia pengawas dan etik adalah bentukan KPU dan sifatnya ad hoc (sementara). Seiring perubahan regulasi, lembaga penyelenggara Pemilu menjadi tiga dan bersifat permanen. Masing-masing memiliki jajaran lembaga secara hierarkis. Jajaran KPU antara lain KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Jajaran Bawaslu antara lain Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam), Pengawas Keluarahan/Desa (PKD), dan Pengawas TPS. Sedangkan DKKP, tidak memiliki jajaran di bawahnya. Hanya ada di tingkat nasional. Sedangkan untuk membantu tugasnya DKPP membentuk Tim Pemeriksa Daerah (TPD) yang berada di tingkat provinsi, bersifat ad hoc dan terdiri dari berbagai unsur yaitu 1 (unsur KPU), 1 (unsur Bawaslu), 1 (unsur akademisi) dan 1 (unsur tokoh masyarakat). Tugas utama penyelenggara Pemilu adalah menyelenggarakan Pemilihan Umum. Setidaknya menurut The International IDEA, ada tiga model Electoral Mangement Body (EMB) atau penyelenggara Pemilu. Pertama, model independen. Anggota badan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih secara terbuka yang melibatkan masyarakat. Prinsip independen artinya keberadaan komisioner penyelenggara pemilu tidak berada di bawah suatu lembaga, dan orang-orang yang menjadi komisioner tidak partisan atau tidak mewakili kepentingan partai atau kandidat tertentu. Penyelenggara pemilu independen diseleksi oleh panitia seleksi yang ditetapkan oleh pemerintah (misalnya Indonesia di era reformasi) namun memiliki kemandirian dalam menentukan metode seleksi dan membuat keputusan hasil seleksi calon penyelenggara pemil. Kedua, model pemerintah. Anggota badan penyelenggara Pemilu diseleksi dan dipilih dari orang-orang yang mewakili pemerintah. Prinsip independen sulit dipenuhi karena komisioner penyelenggara Pemilu berasal dari birokrasi (misal, era Orde Baru). Penyelenggara mulai dari tingkat pusat sampai daerah dipilih dan diisi oleh birokrat dari Kementerian Dalam Negeri. Terlepas dari pengalaman masa lalu, ada beberapa negara yang menerapkan model ini, misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Swedia dan Swiss. Ketiga, model campuran. Keanggotaan penyelenggara Pemilu kombinasi antara hasil seleksi nonpartisan dengan orang-orang yang mewakili kepentingan pemerintah. Selain itu, terdapat juga anggota yang mewakili partai politik. Model ini pernah diadopsi oleh Indonesia pada tahun 1999. Pemilih Sebagaimana dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa yang dimaksud Pemilih adalah warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Kemudian pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Sepanjang Pemilu digelar di Indonesia ada beberapa kali perubahan pengaturan tentang pemilih. Soal kriteria umur, Indonesia pernah menerapkan kriteria umur 18 tahun pada Pemilu pertama tahun 1955. Setelah terjadi perubahan menjadi 17 tahun sehingga sekarang. Lalu, tentang kriteria perkawinan, sejak Pemilu awal Indonesia memasukan status ‘sudah kawin’ sebagai salah satu kriteri pemilih. Di samping itu tentang kriteria kesehatan, sebelum amandemen UUD 1945 orang ‘hilang ingatan’ termasuk kriteria pemilih. Kemudian pasca amandemen, ‘hilang ingatan’ tidak termasuk pemilih. Sebagaimana regulasi terkini ada syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk dapat menjadi pemilih adalah: 1) Warga Negara Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin. 2) Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya 3) Terdaftar sebagai pemilih. 4 Bukan anggota TNI/Polri. 5). Tidak sedang dicabut hak pilihnya. 6. Terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Peserta Ada beberapa jenis ketegori peserta dalam Pemilu maupun Pemilihan, di antaranya partai politik, pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon DPD, pasangan calon kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan wali kota dan wakil wali kota. Merekalah yang disebut sebagai peserta. Secara umum di Indonesia terdapat tujuh pemilihan, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Partai politik menjadi peserta dalam Pemilu yaitu Pemilihan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi DPRD Kabupaten/Kota. Partai yang dapat menjadi peserta adalah mereka yang telah lolos verifikasi KPU dan ditetapkan menjadi peserta Pemilu oleh KPU. Lalu, partai politik mendaftarkan calon legislatifnya di masing-masing daerah pemilihan (Dapil) sesuai tingkatan. Calon Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi peserta Pemilu setelah lolos verifikasi KPU dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Syarat untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden adalah harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sebagaimana regulasi terbaru, partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden setelah memenuhi ambang batas yaitu 20 % (dua puluh persen) kursi di parlemen atau 25 % (dua puluh lima persen) suara sah nasional. Tidak ada jalan lain untuk maju sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden selain diusung oleh partai politik atau gabuangan partai politik. Calon DPD dapat menjadi peserta Pemilu setelah lolos verifikasi KPU dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Calon DPD berasal dari perseorangan, bukan dari partai politik. Kemudian calon kepala daerah. Ada dua jalur yang dapat ditempuh untuk menjadi pasangan calon kepada daerah, yaitu jalur perseorangan dan jalur partai politik. Untuk menjadi pasangan calon kepala daerah dari jalur peserorangan, mereka harus memenuhi syarat minimal dukungan yang ditetapkan oleh KPU. Apabila mereka dapat memenuhi syarat minimal dukungan dan lolos verifikasi KPU dan ditetapkan sebagai peserta, maka dapat disebut sebagai peserta pemilihan. Untuk menjadi pasangan calon dari jalur partai politik, maka harus diusung oleh partai politik atau gabungan politik yang menuhi ambang batas pencalonan. Ambang batas pencalonan dari jalur partai politik adalah 20 % (dua puluh persen) kursi DPRD atau 25 % (dua puluh lima persen) suara sah Pemilu. Aktor Pendukung Aktor pendukung juga memiliki peran penting dalam rangka suksesnya Pemilu. Aktor pendukung berperan menjamin terselenggaranya Pemilu dengan lancar. Jika dirinci peran aktor ini antara lain. Pemerintah Pusat/Daerah, memberikan support penuh terkait anggaran Pemilu sesuai dengan tingkatan. Pemilu dicukupi oleh pemerintah pusat, sementa pemilihan gubernur dicukupi oleh pemerintah provinsi, pemilihan bupati dicukupi oleh pemeritah daerah dan pemilihan wali kota dicukupi oleh pemerintah kota. Selain dukungan dana, Pemerintah pusat/daerah juga memberikan dukungan layanan dan dukungan lain yang mungkin diperlukan. Peran Kepolisian dan Kejaksaan dalam Pemilu adalah menegakkan hukum Pemilu. Bersama Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan tergabung dalam sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). Fungsinya adalah memastikan terkait dengan penegakkan hukum Pemilu. Hukum dipegang teguh oleh para aktor Pemilu dalam rangka memastikan netralitas dan integritas. Termasuk lembaga Peradilan berperan sebagai kanal bagi aktor Pemilu untuk menuntut haknya. Dalam proses penyelenggaraan Pemilu bukan tidak mungkin akan terjadi pelanggaran administrasi yang merugikan salah satu atau beberapa pihak. Lembaga peradilanlah sebagai jalan keluar atas persoalan tersebut. Lalu, yang terakhir adalah pemantau Pemilu. Pemantau Pemilu memiliki peran dan fungsi yang sangat penting. Mereka dapat melakukan pemantauan sejak tahapan secara resmi dimulai. Mereka dapat melakukan pemantauan di berbagai tingkatan. Pemantau Pemilu berperan memastikan para aktor utama Pemilu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan benar.

PEMILIH MUDA LITERAT UNTUK PEMILU SERENTAK 2024

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan   Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak akan digelar pada tahun 2024. Tepat pada 14 Februari 2022 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melakukan peluncuran tanggal pemungutan suara tahun 2024 yaitu tanggal 14 Februari 2024. Praktis dua tahun lagi Indonesia akan menggelar pesta demokrasi yang terkenal kompleksitasnya. Pemilu pada tahun 2024 nanti merupakan Pemilu Serentak yang kedua, setelah Pemilu Serentak yang dilaksanakan pada tahun 2019 lalu. Pada Pemilu Serentak 2019, banyak diwarnai periswa berita bohong atau hoaks, kampanye hitam, dan kegiatan sejenis yang banyak merugikan semua pihak. Pemilih muda atau pemilih milenial merupakan pemilih dengan rentang usianya antara 17-37 tahun (Nindyati, 2017). Sering juga disebut sebagai generasi Y atau generasi langgas yang dilahirkan antara tahun 1980-an sampai dengan 2000. Pemilih muda merupakan pemilih yang rasional dan kritis. Generasi milenial memiliki perkembangan yang cepat. Banyak hal positif dan negatif yang menyertai perkembangannya. Misalnya, dalam hal teknologi generasi ini akan dengan mudah dan cepat dalam menyerap informasi yang ada pada setiap lini masa. Tetapi sayangnya, kecepatan tersebut jusru akan menjadi bias, sehingga akan sangat berkemungkinan mereka terlibat dalam penyebaran hoaks yang menyebabkan terjadinya missinformasi. Pada Pemilu Serentak 2024 diprediksi jumlah pemilih muda akan mengalami peningkatan. Jika berkaca pada Pemilu Serentak 2019, data dari KPU, jumlah pemilih muda sudah mencapai 70 juta – 80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Ini artinya 35% - 40% pemilih muda sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu yang nantinya berpengaruh kepada kemajuan bangsa. Jumlah yang besar tersebut akan sangat berkemungkinan menjadi sasaran pasar oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam gelaran Pemilu Serentak 2024. Di lain sisi, pemilih muda dalam konteks Pemilu, kata Anna Erliyana, Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, berada dalam pusaran antara antusiasme dan apatisme politik. Artinya di satu sisi mereka semangat dan ingin mengetahui seputar Pemilu, khususnya melalui media sosial, di sisi lain, mereka antipasti terhadap Pemilu. Akan menjadi kekhawatiran bagi mereka yang antusias lagi semangat dalam berpatisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu, kalau mereka tidak mendapatkan informasi yang benar. Peran serta atau keikutsertaan kaum pemilih muda, harus dibarengi dan diimbangi dengan informasi penyelenggaraan Pemilu yang benar. Untuk mencegah terjadinya miss informasi, keterlibatan dan praktif politik uang, serta minimnya pemahaman yang benar terkait dengan teknis pemberian suara yang sah, dan lain sebagaimana, maka melakukan literasi pemilih muda sangat penting. Menurut UNESCO “The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization”, Literasi ialah seperangkat keterampilan nyata, terutama keterampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana keterampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Sedangkan menurut Alberta, Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.  Sedangkan jika dikaitkan dengan politik, Bernard Crick (2000) dalam Putri (2015:79), mendefinisikan literasi politik sebagai pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dan bahasa merupakan upaya memahami seputar isu politik, keyakinan para kontestan, bagaimana kecenderungan mereka mempengaruhi diri sendiri dan orang lain. Ringkasnya, literasi politik pada dasarnya merupakan senyawa yang utuh dari pengetahuan (kognisi), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afeksi). Dari beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud literasi pemilih adalah pemilih yang memiliki kemampuan membaca, berpikir kritis dalam memecahkan masalah serta dapat berkomunikasi secara efektif. Mengingat tantangan bagi pemilih muda adalah banjirnya informasi melalui internet, khususnya media sosial. Maka, literasi diperlukan untuk menyaring jenis-jenis informasi, baik informasi yang benar maupun informasi yang tidak benar. Kecakapan berliterasi pemilih dalam berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu menjadi mutlak dimiliki. Tetapi pada prosesnya mereka tidak dapat berjalan sendiri. Sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang bahwa selaku penyelenggara teknis Pemilu adalah KPU, maka sudah menjadi keharusan bagi KPU untuk melakukan literasi pemilih. Literasi pemilih dalam rangka memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar terkait proses penyelenggaraan Pemilu, biasa dilakukan oleh KPU dalam bentuk pendidikan pemilih dan sosialisasi. Ragam dan bentuk pendidikan pemilih dan sosialisasi pun juga banyak. Apalagi di era digital sekarang, begitu mudah dan murahnya dalam menyebar dan mendapatkan informasi, termasuk melakukan pendidikan pemilih dan sosialisasi. Peluang digital tersebut harus semakin dioptimalkan. Apalagi jika melihat kondisi nasional maupun dunia saat ini sedang ditimpa musibah pandemi. Sedangkan, kita semua belum dapat memastikan kapan pandemic ini akan berakhir, maka bukan tidak mungkin bila pada pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 nanti masih dalam situasi pendemi. Setidaknya, dalam proses penyelenggaraannya berada dalam situasi pandemic. Kondisi pandemic yang tidak memungkinan melakukan pertemuan dalam jumlah besar alias terbatas. Maka, berat bagi KPU jika harus melakukan pendidikan pemilih dan sosialisasi secara tatap muka, dan harus menjangkau seluruh kawasan. Sehingga peluang digital guna melakukan pendidikan pemilih dan sosialisasi menjadi hal yang mutlak dilakukan. Berkaca pada Pemilihan Serentak Tahun 2020, yang dilaksanakan dalam situasi pandemic. Pelaksanaan tahapan banyak yang dilaksanakan via daring, termasuk pendidikan pemilih dan sosialisasi. Situasi pandemic menuntut optimalisasi penggunaan internet, baik untuk penyebaran informasi maupun telekonferensi. Penggunaan media digital sangat intens digunakan di kala pandemic. Maka, sudah barang tentu pada Pemilu Serentak 2024 yang akan datang, optimalisasi media digital ini mutlak dilakukan baik dalam situasi pandemic maupun normal. Tentu saja dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman tidak hanya melalui media digital, pertemuan tatap muka selam mematuhi ketentuan yang ada, tetap juga dapat dilakukan. Intinya adalah dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pemilih muda baik melalui pendidikan pemilih maupun sosialisasi, harus senantiasa melakukan inovasi kreatif. Agar apa yang disampaikan oleh KPU menarik dan dapat memikat para pemilih muda untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu serta pemilih muda dapat mengetahui hak dan kewajibannya pada Pemilu Serentak 2024. Muara dari proses pendidikan pemilih dan sosialisasi yang inovatif-kreatif kepada pemilih muda adalah mengantarkan menjadi pemilih literat. Pemilih muda yang literat dia akan mengetahui atau minimal waspada dengan berita bohong, tidak mudah terprovokasi apalagi ikut menyebarkan informasi hoaks. Pemilih muda yang literat juga akan memastikan dirinya terdaftar sebagai pemilih, melihat dan mempelajari rekam jejak setiap calon yang akan dipilih, hadir di TPS memberikan suara, serta turut mengawal proses pemungutan dan rekapitulasi penghitungan suara. 

REFORMASI BIROKRASI MENJADI KEBUTUHAN KPU

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri,  kab-kediri.kpu.go.id - Munculnya ide Reformasi Birokrasi (RB) tidak lepas dari sejarah pahit bangsa Indonesia. Menjelang era reformasi Indonesia dilanda krisis ekonomi yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal inilah yang mengakibatkan banyaknya tututan dari berbagai pihak untuk melaksanakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada era ini disebut dengan reformasi gelombang pertama. Pada reformasi gelombang pertama inilah yang menjadi tonggak dimulainya reformasi di berbagai bidang, antara lain, bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi. Perubahan mendasar ini didasari oleh keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia yang ingin segera mewujudkan kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan reformasi gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding bidang yang lain. Oleh karena itu secara resmi, pada tahun 2004 pemerintah menegaskan dan memfokuskan tentang penerapan clean government dan good governance yang pada prinsipnya adalah memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Bentuk programnya adalah pembangunan aparatur negara melalui reformasi birokrasi. Pada tahun 2009, di depan sidang DPR RI, Presiden menegaskan kembali tentang tekad pemerintah untuk melanjutkan misi sejarah bangsa, salah satunya dengan melaksanakan reformasi gelombang kedua, dengan harapan pada tahun 2025 nanti bangsa Indonesia benar-benar berada pada fase bergerak menuju negara maju. Sebagai upaya mewujudkan pelaksanaan Reformasi Gelombang Kedua pemerintah menerbitkan Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi. Grand Design Reformasi Birokrasi berupa rancangan induk yang berisi arah kebijakan pelakanaan reformasi birokrasi nasional untuk waktu 2010-2025. Sementara Road Map yaitu bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Saat ini Reformasi Birokrasi memasuki periode ketiga atau terakhir dari Grand Design Reformasi Birokrasi, diharapkan dapat menghasilkan karakter birokrasi berkelas dunia yang dicirikan dengan pelayanan publik yang semakin berkualitas dan tata kelola semakin efektif dan efisien. Pelaksanaan reformasi birokrasi memang menjadi pertaruhan yang amat berat bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, diuraikan bahwa jika berhasil melaksanakan reformasi birokrasi dengan baik maka akan mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan diharapkan tersebut antara lain; a) mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; b) menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy; c) meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; d) meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; e) meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi; f) menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis. Akan tetapi sebaliknya, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional. Pada Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi Tahun 2020-2024, asas yang akan dikedepankan adalah Fokus dan Prioritas. Fokus berarti bahwa upaya Reformasi Birokrasi akan dilakukan secara fokus pada akar masalah tata kelola pemerintahan. Prioritas berarti setiap instansi akan memilih prioritas perbaikan tata kelola pemerintahan sesuai dengan karakteristik sumber daya dan tantangan yang dihadapi. Dalam Road Map tersebut terdapat delapan area perubahan dalam Reformasi Birokrasi yang menjadi fokus pembangunan, antara lain: 1) Manajemen Perubahan; 2) Deregulasi Kebijakan; 3) Penataan Organisasi; 4) Penataan Tatalaksana; 5) Penataan SDM Aparatur; 6) Penguatan Akuntabilitas Kinerja; 7) Penguatan Pengawasan; 8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Akhirnya, sebagaimana Grand Design Reformasi Birokrasi, pada tahun 2025, diharapkan telah menghasilkan governance yang berkualitas. Semakin baik kualitas governance, semakin baik pula hasil pembangunan (development outcomes) yang ditandai dengan: a). tidak ada korupsi; b). tidak ada pelanggaran; c). APBN dan APBD baik; d). semua program selesai dengan baik; e). semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat; f). komunikasi dengan publik baik; g). penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif; h). penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan; i). hasil pembangunan nyata (propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan; artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat). Reformasi Birokrasi di KPU Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melaksanakan Reformasi Birokrasi sejak tahun 2013. Jika dilihat dari periodesasi dalam Grand Design Reformasi Birokrasi yaitu sejak tahun 2010-2025, maka hingga saat ini KPU telah memasuki periode ketiga dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi. Sepanjang melaksanakan Reformasi Birokrasi, KPU telah mengantongi tiga penghargaan yaitu pada tahun 2014, 2015 dan 2017. Adapun setelahnya tidak meraih penghargaan lagi dan cenderung mengalami penuturunan. Hal tersebut disebabkan karena alat ukur yang digunakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara berbeda. Misalnya, dibanding tahun 2017, objek evaluasinya semakin luas sampai ke unit satuan kerja. Bagi KPU pelaksanaan Reformasi Birokrasi menjadi kebutuhan. KPU menjadi Lembaga Non Struktural memiliki peran yang sama dengan lembaga lain dalam menyukseskan Grand Design Reformasi Birokrasi yang di- breakdown dalam bentuk Road Map Reformasi Birokrasi lima tahunan. Secara hierarkir KPU memiliki unit-unit dan satuan kerja di bawahnya yaitu KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, yang secara otomatis mereka juga harus menerapkan Reformasi Birokrasi dengan sebaik-baiknya. KPU Kabupaten Kediri, sebagai salah satu satuan kerja (satker) KPU, selalu siap melaksanakan Keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi selain merupakan wujud kepatuhan, juga merupakan kebutuhan bagi lembaga penyelenggara Pemilu. Karena setiap sudah pasti menginginkan menjadi lembaga yang terbaik. Lembaga yang baik salah satunya cirinya melayani atau melakukan pelayanan prima terhadap masyarakat. Tagline “KPU Melayani” sesungguhnya harus dijiwai oleh setiap warga KPU, karena pada hakekatnya tugas utama sebagai penyelenggara Pemilu adalah melayani.  Sumber: 1. Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. 2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi Tahun 2020-2024. 3. Keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

Populer

Belum ada data.