Opini

Pendidikan Pemilih dan Tantangannya

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Ada ungkapan bahwa Pemilu di Indonesia merupakan pemilu terbesar di dunia. Sering disebut sebagai the biggest election in the world. Dalam konteks negara, Indonesia memang negara yang besar, penduduknya banyak, negaranya kepulauan dan geografinya juga berbeda-beda. Ini menjadi potensi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan Pemilu. Pada Pemilu 2019 lalu, kalau dilihat secara statistik ada sekitar lebih dari 192 juta pemilih. Sebanyak 300.000 kandidat yang tersebar mulai dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota. Ada 20.000 kursi yang diperebutkan atau yang dikontestasikan. Ada 2.000 daerah pemilihan mulai dari DPR RI sampai dengan DPRD kabupaten/kota. Ada sekitar 7 juta petugas penyelenggara mulai dari pusat sampai dengan badan adhoc. Ada sekitar 800.000 TPS dan ada sekitar 4 juta kotak suara. Jika dilihat dari statistik tersebut, Pemilu di Indonesia memang Pemilu yang sangat besar. Penyelenggaraan Pemilu yang sangat besar merupakan pekerjaan yang sangat bersar. Ia membutuhkan kerja-kerja ekstra dari penyelenggaranya. Perlu kerja sama dengan semua pihak, semua elemen, semua unsur yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat. Mengingat kerja penyelengga Pemilu adalah kerja kolosal. Kerja sama dan kerja bersama-sama. Kerja untuk membangun demokrasi Indonesia. Penyelenggaraan Pemilu tidak sekadar prosedural. Tidak sekadar terselenggara, tetapi diharapkan pemilihnya benar-benar berdaulat. Menjadi pemilih yang kritis. Menjadi pemilih yang berpartisipasi secara bermakna. Sehingga penyelenggaraan Pemilu ini bukanlah pekerjaan yang mudah yang dapat terselesaikan dalam waktu yang singkat.   Pendidikan Pemilih Merujuk pada aceprojec.org ada beberapa istilah terkait dengan pendidikan pemilih, yaitu civic education (pendidikan kewarganegaraan), voter education (pendidikan pemilih) dan voter information (informasi pemilih). Maka dapat dikatakan bahwa tugas-tugas KPU ada pada ketiganya. Memberikan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pemilih maupun memberikan informasi kepada pemilih. Jika diurai, yang dimaksud dengan civic education pendidikan kewarganegaraan adalah proses yang berkelanjutan dia tidak hanya terbatas pada kesadaran warga untuk memilih, tetapi juga partisipasi warga yang lebih luas dalam demokrasi. Intinya menekankan pada hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara untuk berpartisipasi pada Pemilu maupun Pilkada. Jadi, ini merupakan proses yang relatif lebih panjang dan berkelanjutan. Sementara untuk pendidikan pemilih atau voter education berfokus untuk meningkatkan kesiapan pemilih untuk dapat berpartisipasi penuh dalam Pemilu. Juga menekankan bagaimana hubungan antara demokrasi dan Pemilu, serta hak dan kewajiban pemilih. Proses pelaksanaan Pemilu dikatakan genuine atau asli secara demokratis ketika warga negaranya berpartisipasi dan tahu makna suara yang diberikannya. Bahwa mereka mengetahui dan paham bahwa mereka punya satu suara yang bermakna. Satu suara dapat diibaratkan, “senjata untuk memberikan reward atau punishment.” Maksudnya adalah ketika misalnya pemilih senang dengan performa pemerintah, maka dapat berikan reward berupa satu suara berharga tersebut. Tetapi sebaliknya, ketika merasa tidak puas dengan performa pemerintah, maka dapat memberikan punishment dengan cara tidak memilihnya lagi. Hal tersebut juga merupakan salah salah satu hal yang ditekankan oleh Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan tentang keserentakan Pemilu. Yaitu pada putusan Nomor 14 Tahun 2013 termasuk juga pada putusan Nomor 55 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan menyerentakkan Pemilu adalah mendorong dan meningkatkan efikasi warga negara. Maksudnya adalah, ternyata menyadari bahwa suaranya bermakna dan bisa melakukan perubahan dengan cara memilih pemimpin yang baik atau mengganti pemimpin yang performanya tidak baik. Selanjutnya ada voter information atau informasi pemilih. Kalau voter information biasanya lebih sederhana. Yaitu terkait dengan kapan waktu Pemilunya, kapan hari-Hnya, apa syarat untuk bisa memilih, kapan jam buka dan tutup TPS dan sebagainya. Jadi lebih terkait dengan teknis pelaksanaannya.   Prinsip Pendidikan Pemilih Dalam upaya pendidikan pemilih, ada pesan umum yang musti disampaikan adalah bagaimana kaitan antara Pemilu dan demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi penting ada Pemilu. Tetapi juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis luber jurdil sebagaimana terdapat dalam undang-undang. Dalam proses pelaksanaan pendidikan pemilih harus menjelaskan tentang peran, hak dan kewajiban pemilih. Karena sesungguhnya pemilih dapat berpartisipasi pada semua tahapan Pemilu, tidak sekadar hari-H pada saat datang ke TPS. Misalnya, mendorong transparansi dana kampanye peserta Pemilu, memastikan proses kampanye berjalan sesuai dengan aturan, turut mengawasi proses pemutakhiran data pemilih dan lain sebagainya. Sebagaimana juga sudah dilakukan oleh pemantau nasional maupun daerah, yang turut mendorong warga masyarakat untuk memahami arti penting suara dalam Pemilu, khususnya di tengah-tengah warga masyarakat yang apatis terhadap Pemilu. Yang juga tidak kalah penting adalah menyampaikan bahwa pentingnya kerahasiaan suara pemilih. Karena terkadang masih ada orang-orang yang atau pemilih-pemilih yang memilih bukan karena karena daulat, tetapi karena pengaruh dari kanan kirinya. Tentu kalau sekadar berdiskusi boleh-boleh saja, tetapi keputusan terakhir harus ada pada diri seorang pemilih. Memastikan suaranya benar-benar berharga dan rahasia. Dalam melaksanakan pendidikan pemilih, merangkul kaum muda untuk ambil bagian dalam melakukan pendidikan pemilih sangat penting. Jangan sampai jumlah mereka yang banyak hanya menjadi penonton. Menyaksikan gelaran Pemilu dari kejauhan. Sangat mungkin kaum muda ini memiliki inovasi-inovasi dalam memberikan pendidikan pemilih maupun informasi pemilih kepada teman-temannya yang sefrekuensi. Sehingga pelibatan terhadapnya dalam setiap tahapan Pemilu menjadi keniscayaan. Di samping itu, melibatkan komunitas-komunitas yang ada di dalam juga menjadi keharusan.   Tiga Fokus Utama Tiga hal yang menjadi fokus utama adalah membangun kepercayaan melalui Pemilu yang transparan dan akuntabel, membuat informasi dan data Pemilu dapat diakses dan mendorong partisipasi serta inovasi pemilih. Adanya transparansi dari penyelenggara Pemilu itu bisa menumbuhkan partisipasi masyarakat. Ketika sudah melakukan pendidikan pemilih, maka diharapkan pemilih dapat lebih mudah mendapatkan informasi dan data Pemilu. Misalnya data kandidat yang seharusnya diketahui oleh pemilih. Adanya pertanyaan, kenapa banyak sekali kandidatnya? Kenapa ini ada lima kotak? Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab. Kenapa kandidatnya banyak itu juga penting disampaikan. Misalnya, karena di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Salah satu implikasinya adalah dalam surat suara ada banyak calon. Dalam hal ini penyelenggara Pemilu harus mampu memfasilitasi bagaimana pemilih bisa mengenali para kandidat. Karena kalau tidak, masyarakat tidak dapat membandingkan antara calon satu dengan yang lain. Masyarakat juga kesulitan ingin mengetahui visi dan misi para calon. Mencoba kristis pun juga akan kesulitan karena tidak memiliki akses. Kalau akses dibuka dengan mudah, maka masyarakat dapat mengetahui calon, dapat membandingkan antar calon, bahkan dapat mengkritisi para calon. Dengan dibukannya akses informasi, maka akan timbul kepercayaan terhadap penyelenggaraan Pemilu. Dampaknya Pemilu menjadi transparan da akuntabel sehingga mendorong partisipasi dan inovasi pemilih. Kreatifitas-kreatifitas akan terbangun ketika ada keterbukaan dari penyelenggara Pemilu.   Tantangan Pemilu 2024 Tantangan Pemilu 2024 merupakan refleksi dari Pemilu 2019. Karena tidak ada revisi undang-undang Pemilu dan undang-undang Pilkada, maka sesungguhnya sudah dapat gambaran bagaimana kira-kira Pemilu 2024. Kurang lebihnya juga akan sama. Karena memang keserentakannya sama, Pemilu lima kotak sama dan di tahun yang sama diselenggarakan Pilkada meskipun pada bulan yang berbeda. Dari refleksi Pemilu 2019 sangat mungkin apa yang pada Pemilu 2019 juga akan terulang pada Pemilu 2024. Ada dua hal yang menjadi catatan Perludem pada hasil refleksi Pemilu 2019. Pertama, soal kompleksitas pemilih. Bagaimana kerumitan yang dihadapi oleh pemilih pada saat hari-H. Kedua, terkait dengan voter suppression atau upaya-upaya yang dilakukan untuk menghilangkan hak pilih seseorang atau kelompok tertentu. Terkait dengan kompleksitas pemilih tidak ada perubahan dari sisi regulasi. Pemilu lima kotak, sistem pemilu proporsional terbuka, dapilnya sama. Daerah pemilihan kategori besar dengan alokasi kursi 3-10 untuk DPR RI, 3-12 untuk DPRD kabupaten kota. Lalu, refleksi suara tidak sah pada Pemilu 2019. Angka suara tidak sah yang cukup tinggi pada Pemilu DPR dan DPD. Selain itu, Pemilih juga perlu memahami calon. Pemilih perlu mengenal caleg-caleg yang berpotensi di daerah pemilihan. Pada Pemilu 2019 lalu, beberapa lembaga melakukan surve pasca Pemilu. Misalnya, LIPI, salah satu hasilnya menyebutkan bahwa 60 % pemilih atau responden merasa kerumitan dengan Pemilu 5 kota. Ditambah fakta bahwa suara tidak sah cukup tinggi. Pada Pemilu DPR RI ada sekitar 11% suara tidak sah. Begitu juga dengan DPD, suara tidak sahnya tinggi. Untuk DPD sesungguhnya anomali karena DPD dari sisi surat suara sebanarnya ada foto calonnya, tapi justru surat suara tidak sahnya tinggi. Hasil riset yang akan dilakukan Perludem dengan Facebook di Indonesia terkait dengan voter suppression bahwa gangguan pada pemilih salah satu bentuknya adalah pengacauan informasi. Sebagaimana yang marak terjadi di Pemilu 2019 yaitu pengaturan informasi terkait dengan teknis pemberian suara. Ada informasi yang sengaja diplesetkan sehingga membuat orang salah memberikan suaranya, sehingga suaranya menjadi tidak sah. Pengacuan informasi ini tidak hanya terjadi pada saling serang antar calon, tapi juga menyerang penyelenggara Pemilu. Misalnya, berita hoaks yang viral pada waktu itu adanya 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos. Sekarang memang trendnya hoaks tidak hanya menyerang antar peserta, tapi juga kepada penyelenggara sebagai delegitimasi proses dan hasilnya.

Siapa Peserta Pemilu dan Pilkada?

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Di dalam penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada kita mengenal istilah aktor Pemilu. Pemilu atau Pilkada akan berlangsung jika para aktor ini ada. Setidaknya ada 3 (tiga) aktor utama, yaitu penyelenggara, pemilih dan peserta. Tanpa ketiganya mustahil penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan dapat terlaksana. Berperan sebagai penyelenggara adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Berperan sebagai pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah atau pernah menikah. Sedangkan, yang berperan sebagai peserta, akan dibahas dalam tulisan ini. Pada penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada yang menjadi dasar pokok adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Termasuk di dalamnya menyebutkan siapa saja yang menjadi peserta Pemilu maupun Pilkada. Setidaknya ada 3 (tiga) pasal yang dapat diindentifikasi untuk mengetahui siapa saja yang menjadi peserta. Diawali pada pasal 22E yang merupakan bagian dari BAB 7B, secara khusus mengatur tentang pemilihan umum (Pemilu). Ini memang agak unik. Ia tergabung dalam BAB 7B, tapi pasalnya hanya ada satu yaitu pasal 22E. Di dalam pasal 22E ada beberapa ayat yang menjelaskan ketentuan secara umum tentang Pemilu. Pada ayat 1 menjelaskan tentang asas Pemilu. Di dalam ayat ini terdapat asas Pemilu yang berjumlah 7 yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil—sering disebut Luber Jurdil—dan setiap 5 tahun sekali. Jadi selain, Luber Jurdil, ada satu lagi adalah reguler atau berkala atau periodik setiap 5 tahun sekali. Ini sering kebanyakan orang melewatkannya, setiap 5 tahun sekali jarang disertakan, padahal juga termasuk asas Pemilu yang terdapat dalam UUD 1945. Memang kalau di undang-undang Pemilu ataupun undang-undang Pilkada asasnya menjadi berkurang. Yang setiap 5 tahun sekalinya tidak muncul, sehingga kebanyakan orang menganggapnya bahwa asas Pemilu hanya ada 6, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap 5 tahun sekali atau asas periodik atau berkala atau reguler ini sering tidak dicantumkan.  Pada ayat 2 menjelaskan tentang Pemilu diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi, berdasarkan pasal 22E ayat 2, maka ada empat posisi yang dipilih melalui Pemilu, yaitu anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden dan anggota DPRD. Sedangkan anggota DPRD ada dua yaitu DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sehingga di dalam penyelenggaraan Pemilu ada 5 posisi yang harus dipilih oleh pemilih. Pada ayat 3 menjelaskan bahwa peserta Pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pada ayat 4, peserta Pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Pada ayat 5, Pemilu diselenggarakan oleh suatu kondisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sedangkan pada ayat 6, ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan undang-undang. Dari ayat 3 dan ayat 4 tersebut dapat diketahui siapa saja peserta Pemilu. Misalnya, pada ayat 3 sangat jelas menyebut bahwa peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Pada ayat 4-nya peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Pada ayat 5-nya menjelaskan soal penyelenggara dan pada ayat 6-nya menjelaskan ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang mengatur lebih lanjut tentang Pemilu yang saat ini berlaku untuk Pemilu 2024 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jadi, dari pasal 22E UUD 1945 daapt diketahui bahwa peserta Pemilu DPR dan DPRD pesertanya adalah partai politik dan untuk Pemilu anggota DPD pesertanya adalah perseorangan. Kemudian untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu melihat pasal yang lain yaitu pasal 6A. Di dalam pasal 6B terdiri dari 5 (lima) ayat yang menjelaskan mulai tentang sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pencalonan sampai dengan penentuan pasangan calon terpilih. Ayat 1 menjelaskan tentang Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan atau satu paket secara langsung oleh rakyatnya. Ayat 2 menjelaskan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelumnya. Pada ayat 3 menjelaskan tentang Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pada ayat ini sekaligus menjelaskan tentang sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yaitu tentang mekanisme keterpilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai pasangan calon terpilih. Ayat 4 menjelaskan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada ayat 3 dan ayat 4 inilah yang mengatur tentang sistem Pemilu atau sistem Pemilu 2 (dua) putaran untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga kalau ada pertanyaan, sebutkan pasal dalam Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden! Maka, jawabannya adalah pasal 6A ayat 3 dan ayat 4 yaitu sistem Pemilu mayoritas atau TRS (Two Round System) atau sistem Pemilu dua putaran. Kalau tidak ada mayoritas 50% + 1, maka suara yang terbanyak pertama dan kedua akan mengikuti putaran kedua. Sedangkan pada ayat yang kelima, menjelaskan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.  Pada pasal lain yang sering dirujuk ketika membicarakan soal Pemilu dan Pilkada adalah pasal 18, khususnya pasal 18 ayat 4 yang berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Ayat inilah yang menjadi rujukan bagaimana pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dilangsungkan. Inilah yang menjadi rujukan bagaimana kemudian pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota di langsungkan. Kalau pada pasal 6A disebutkan secara jelas bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sementara pada pasal 18 ayat 4, Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Jadi, jelas perbedaanya antara dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh rakyat dan dipilih secara demokratis. Pada pasal 18 juga, khususnya di ayat 3 kembali ditekankan tentang pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD yang dilakukan melalui Pemilu bunyi Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Terlihat penegasan antara ayat 3 dan ayat 4 pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan umum sementara pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis. Tampaknya baik pasal 6A atau pasal 18 tidak terlalu eksplisit menyebut siapa pesertanya. Ternyata pengaturannya terdapat di dalam pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal 1 angka 27 ini disebutkan bahwa Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Penegasan dari pasal-pasal UUD 1945 diturunkan di dalam pasal 1 angka 27 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. saat bicara tentang siapa itu peserta pemilulu anggota DPR DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten kota itu pesertanya adalah partai politik. sedangkan peserta pemilu anggota DPD adalah perseorangan dan peserta pemilu presiden dan wakil presiden adalah pesertanya pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Terakhir, peserta Pilkada atau pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang sudah diubah tiga kali yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020. Bahwa peserta untuk pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau pasangan calon yang maju dari jalur perseorangan. Beda antara Pilpres dan Pilkada, kalau di Pilpres pasangan calon hanya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, namun kalau di Pilkada pasangan calon itu bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau maju dari jalur perseorangan. Peserta Pilpres dan Pilkada adalah sama-sama pasangan calon. Hanya bedanya pasangan calon di Pilkada itu bisa maju dari jalur perseorangan sementara di Pilpres hanya bisa diusulkan melalui partai politik atau gabungan partai politik.

Langkah Strategis Penyelenggara Pemilu pada Pemilu 2024

Oleh: Eka Wisnu Wardhana Komisioner Perencanaan, Data, dan Informasi   Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Tok…!!! Pemerintah dan penyelenggara sudah menyepakati Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang. Bahkan Peraturan KPU tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024 pun sudah ditetapkan. Namun, penyelenggaraan Pemilu 2019 masih menyisakan berbagai evaluasi dan catatan yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) untuk para penyelenggara Pemilu. Ribuan pelanggaran yang sudah ditangani oleh Bawaslu menjadi salah satu catatan yang harus diperhatikan oleh para penyelenggara pemilu. Hampir di setiap tahapan muncul pelanggaran baik administratif, pelanggaran etik maupun pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.  Adanya catatan dan evaluasi yang sudah dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu dan pemerintah tentu tidak menjadi “tumpukan catatan” yang harus disimpan saja, namun akan menjadi catatan kritis yang bermanfaat sebagai bahan evaluasi untuk mengantisipasi adanya pelanggaran yang akan terjadi dalam Pemilu 2024 mendatang. Pesta demokrasi yang akan dilaksanakan di tahun 2024 akan menjadi catatan sejarah tersendiri, dimana Pemilu dan Pilkada akan dilaksanakan pada tahun yang sama. Tentunya ini akan menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi para penyelenggara Pemilu. Yang mana akan berpotensi terjadi irisan tahapan jika Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terjadi dalam 2 putaran.  Dalam setiap tahapan akan dimungkinkan muncul berbagai macam permasalahan, mulai dari pendaftaran peserta, pendaftaran calon, kampanye sampai dengan pemungutan suara ataupun pada tahapan lainnya. Hal ini tentu akan menuntut para penyelenggara pemilu untuk merubah regulasinya yang efektif, efisien dan tentunya harus fast respon dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maupun peserta pemilu. Masalah lain yang mungkin muncul adalah adanya masyarakat yang bingung ketika akan memberikan hak suaranya. Banyaknya surat suara yang akan dicoblos juga menjadi evaluasi dari Pemilu 2019 kemarin. Sehingga penyelenggara Pemilu harus memiliki terobosan yang bagus agar memudahkan masyarakat dalam memberikan hak suaranya. Seperti halnya dengan adanya penyederhanaan surat suara. Semakin sederhana surat suara maka akan semakin mempermudah masyarakat dalam memberikan suaranya dan ini akan berefek pada minimnya surat suara yang tidak sah nantinya. Tentunya dengan tetap menjaga substansi dan ketentuan tentang surat suara itu sendiri. Terobosan lain yang tidak kalah penting adalah adanya sistem pelaporan yang berbasis teknologi. Selama ini KPU ataupun Bawaslu sudah menggunakan teknologi dalam sistem pelaporannya, namun masih banyak evaluasi yang diperlukan. Sehingga perlu adanya peningkatan kualitas maupun kuantitas teknologi yang nantinya akan dipakai dalam pelaporan. Teknologi di era saat ini, akan membantu penyelenggara dari berbagai sektor dalam mempercepat proses pelaporan ataupun proses administrasi. Sehingga penggunaan teknologi yang berkualitas dalam Pemilu 2024 akan menjadi sangat penting bagi penyelenggaraan, sekaligus akan memudahkan para stakeholder Pemilu untuk mengakses sesuai hak dan kewenangannya. Sisi lain yang juga harus diperhatikan adalah pendidikan pemilih.  Hal ini harus benar-benar diperkuat oleh para penyelenggara Pemilu. Kasus-kasus klasik yang sangat krusial seperti money politic, black campaign sampai dengan hate speech akan bermunculan dalam proses demokrasi, nantinya akan bisa dicegah. Sehingga pendidikan pemilih menjadi hal yang sangat penting dan utama untuk diperkuat dalam setiap tahapan pemilu 2024 nantinya. Kompleksitas kegiatan pemilu akan menjadi tantangan pada Pemilu 2024.  Hal tersebut tentunya akan dapat menguras energi para penyelenggara pemilu. Sehingga penguatan kelembagaan baik ke internal maupun ke eksternal harus diperkuat oleh penyelenggara Pemilu itu sendiri. Penguatan kelembagaan internal penyelenggara Pemilu bisa dilaksanakan secara intens dengan memberikan peningkatan kapasitas dan manajerial tata kelola Pemilu bagi sumber daya manusia. Selanjutnya penguatan kelembagaan secara eksternal bisa dilaksanakan dengan membangun komunikasi dan kerjasama serta sinergi dengan berbagai instansi dan lembaga dari lintas sektor yang berkaitan dengan Pemilu (Stakeholder Pemilu). Penguatan kelembagaan eksternal menjadi hal yang urgen untuk dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Selain untuk suksesnya gelaran Demokrasi yang akan datang dan menunjang kerja-kerja penyelenggara, kerjasama dan sinergi dengan Stakeholder Pemilu juga bisa dijadikan suatu cara untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang berpotensi timbul saat tahapan. Sehingga penguatan kerjasama dan sinergi penyelenggara dengan Stakeholder Pemilu menjadi langkah yang dirasa wajib dilakukan oleh para penyelenggara.  Sinergi dan kerjasama yang dilaksanakan tersebut harus dibangun melalui sebuah komunikasi yang baik. Sehingga jika kita lihat dari fungsi komunikasi yang salah satunya adalah sebagai sarana untuk memberikan informasi kepada publik, maka kerjasama yang dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu harus bersifat continue demi tersampainya informasi kepada publik, selain itu penyelenggara Pemilu juga akan mampu mewujudkan pesta demokrasi yang berintegritas. Sehingga stigma di masyarakat yang menganggap bahwa Pemilu itu adalah hal yang pilu akan hilang dengan sendirinya. Sebagai konklusi objektif dari tulisan ini, maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa penyelenggara Pemilu harus mampu mengambil langkah strategis dalam mewujudkan pesta demokrasi yang berintegritas. Pertama, menjadikan Pemilu 2019 sebagai cerminan dalam mencegah pelanggaran yang akan muncul pada Pemilu 2024 mendatang. Kedua, Penguatan jajaran penyelenggara melalui peningkatan kapasitas dan manajerial tata kelola Pemilu bagi sumber daya manusia, Ketiga penting untuk menjaga kesolidan penyelenggara Pemilu melalui koordinasi dan konsolidasi yang efektif. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara dalam memperkuat kelembagaan dari sisi internal. Keempat, mampu melaksanakan kerjasama dan sinergi dengan berbagai stakeholder terkait dan masyarakat untuk memperkuat kelembagaan penyelenggara dari sisi eksternal.  

Sistem Pemilu Kita

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Menjelang Pemilu Tahun 2024 masyarakat perlu mengetahui tentang sistem Pemilu di negara kita. Mengingat sistem Pemilu biasanya sering berubah-ubah. Pemilu Tahun 2024 masih menggunakan dasar yang sama dengan Pemilu 2019, yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau disebut UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam undang-undang tersebut, terdapat lima pemilihan, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sistem Pemilu untuk memilih kelima pemilihan masih sama dengan Pemilu 2019. Setiap negara demokrasi pasti mempunyai sistem Pemilu. Sistem Pemilu merupakan cara bagaimana pencalonan, memilih dan menentukan pemenang. Pelaksanaan Pemilu tidak akan berjalan tanpa adanya sistem Pemilu. Sistem Pemilu merupakan salah satu unsur wajib penyelenggaraan Pemilu. Adapun empat unsur penyelenggaraan Pemilu yaitu Badan Penyelenggara, Pemilih, Peserta dan Sistem Pemilu. Sistem Pemilu mempunyai beberapa unsur. Menurut Ramlan Surbakti dalam Indra Pahlevi (2015), bahwa sistem Pemilu terdiri atas enam unsur, empat unsur merupakan unsur mutlak dan dua lainnya merupakan unsur pilihan. Keempat unsur mutlak tersebut antara lain Besaran daerah pemilihan, pola pencalonan, model penyuaraan dan formula pemilihan atau penentuan calon terpilih. Jika salah satu dari keempat ini tidak ada, tidak akan mungkin dapat mengkonversi suara menjadi kursi. Dua unsur pilihan tersebut, yaitu ambang-batas perwakilan dan waktu penyelenggaraan. Setiap unsur sistem Pemilu mempunyai sejumlah pilihan. Pilihan yang akan diambil berkonsekuensi terhadap berbagai aspek dalam sistem demokrasi. Unsur pertama, besaran daerah pemilihan (Dapil), terdapat dua ukuran yaitu satu kursi per dapil dan banyak kursi per dapil. Ukuran dengan menggunakan banyak kursi per dapil dibedakan menjadi tiga ukuran, yaitu dapil kecil (2-5 kursi), dapil sedang (6-9 kursi) dan dapil besar (10 atau lebih kursi). Pilihan terhadap besaran dapil berkonsekuensi sistem keterwakilan politik. Unsur kedua, pencalonan, memuat siapa yang akan menjadi calon, partai politik atau perseorangan. Termasuk di dalamnya upaya menjamin keterwakilan kelompok tertentu, misalnya mengakomodir 30 % keterwakilan perempuan dalam pencalonan. Dan, juga jumlah calon yang diajukan harus memenuhi 100 % alokasi kursi.  Unsur ketiga, model penyuaraan. Di dalam unsur model penyuaraan ada beberapa hal yang harus ditentukan. Misalnya, suara diberikan kepada siapa, partai politik, calon atau keduanya. Atau dengan cara merangking pilihan dengan cara memilih sejumlah calon. Kemudian, bagaimana cara memberikan suaranya, dengan cara mencoblos, menulis nama, nomor atau dengan memberikan tanda tertentu. Terakhir, unsur keempat yaitu formula pemilihan atau penentuan calon terpilih yaitu cara membagi kursi kepada partai politik peserta pemilu di setiap dapil dan mekanisme yang digunakan untuk menentukan calon terpilih. Pemilihan terhadap formula ini berimplikasi pada derajat keterwakilan, akuntabilitas calon terpilih, tingkat legitimasi calon terpilih, dan jumlah partai politik. Metode yang dapat digunakan untuk mengkonversi suara menjadi kursi, yaitu kuota dan divisor.  Daerah Pemilihan Ketetapan tentang unsur-unsur Pemilu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Pertama, besaran dapil anggota DPR. Jumlah kursi DPR untuk Pemilu 2024 ditetapkan sebanyak 575 kursi. Sedangkan dapil anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Jumlah kursi dalam setiap dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Untuk menentukan dapil tidak boleh memecah kabupaten/kota. Kemudian untuk penentuan dapil dilakukan dengan mengubah dapil pada Pemilu terakhir, berdasarkan jumlah alokasi kursi, penataan dapil dan perkembangan data dapil.  Kedua, besaran dapil anggota DPRD provinsi. Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 kursi dan paling banyak 120 kursi. Jumlah kursi DPRD provinsi ditentukan berdasar pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan. Dapil DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Jumlah kursi setiap dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi. Dalam penentuan dapil tidak dapat diberlakukan pemecahan kabupaten/kota.  Ketiga, besaran dapil anggota DPRD kabupaten/kota. jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 kursi dan paling banyak 55 kursi. Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditentukan atas dasar jumlah penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan. Dapil anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan dan atau gabungan kecamatan. Jumlah kursi setiap dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi. Dalam penentuan dapil, tidak diberlakukan pemecahan terhadap kecamatan. Berbeda dengan dapil DPR dan DPRD provinsi yang diatur dalam undang-undang, dapil DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU. Keempat, besaran dapil DPD. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4. Dapil untuk anggota DPD adalah provinsi. Kelima, untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden daerah pemilihan adalah seluruh wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Jumlah kursi yang diperebutkan hanya 1 pasang kursi. Pola Pencalonan Perlu diketahui bahwa peserta Pemilu untuk pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik. Setelah partai politik ditetapkan sebagai peserta Pemilu, selanjutnya partai politik peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pada pemilihan DPD calon peserta adalah perseorangan. Sedangkan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pesertanya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat. Proses pencalonan kelima pemilihan diatur secara rinci dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Berikut masing-masing pola pencalonan dari kelima pemilihan pada Pemilu 2024. Pertama, pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Partai politik yang telah ditetapkan sebagai partai peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai AD/ART partai politik. Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus pusat. Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus tingkat provinsi. Daftar bakal anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus tingkat kabupaten/kota. Daftar bakal calon yang diajukan harus memenuhi 100 % jumlah kursi setiap dapil. Daftar bakal calon harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 %. Kedua, pencalonan DPD. Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Perseorangan yang akan mendaftar sebagai bakal calon anggota DPD harus memenuhi dukungan minimal sesuai dapil masing-masing. Dukungan tersebut harus tersebar di paling sedikit 50 % jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangutan. Perseorangan bukan merupakan anggota partai politik. Perseorangan yang memenuhi syarat dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi. Kemudian bagi bakal calon anggota DPD yang lolos verifikasi ditetapkan sebagai calon anggota DPD dan diumumkan oleh KPU. Ketiga, pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam satu pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat mengajukan satu pasangan calon. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah diusulkan tidak boleh dicalonkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik. Bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai politik dan gabungan partai politik yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta Pemilu. Masa pendaftaran bakal pasangan calon paling lama 8 bulan sebelum hari pemungutan suara. KPU menolak pendaftaran pasangan calon yang diajukan oleh seluruh gabungan partai politik atau diajukan gabungan partai politik yang mengakibatkan gabungan partai politik peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon. Setelah dilakukan verifikasi KPU menetapkan dalam sidang pleno tertutup dan mengumumkan nama pasangan calon. Model Penyuaraan Pemberian suara untuk Pemilu dilakukan: a) untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan cara mencoblos satu kali pada nomor, nama, foto Pasangan Calon, atau tanda gambar partai politik pengusul dalam satu kotak pada surat suara; b) untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota; dan c) untuk Pemilu anggota DPD dengan cara mencoblos satu kali pada nomor, nama, atau foto calon. Formula Pemilihan atau Penentuan Calon Terpilih Penentuan calon terpilih pada kelima pemilihan dalam Pemilu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Pertama, pemilihan DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Untuk penentuan kursi DPR, partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas paling sedikit 4 % jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Sementara untuk kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota seluruh partai politik peserta Pemilu diikutkan dalam penentuan perolehan kursi.  Partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan. Penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya. Kemudian penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya. Kedua, penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Apabila tidak ada pasangan calon terpilih, 2 (dua) pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, penetapan calon anggota DPD terpilih. Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama, calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan. Apabila perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.  Inilah desain sistem Pemilu yang hendak kita gunakan pada Pemilu Tahun 2024. Secara umum tidak berubah dari Pemilu Tahun 2019 lalu. namun, secara teknis berkemungkinan ada beberapa yang akan diubah demi efisiensi waktu dan pengurangan beban kerja. Semua dilakukan agar Pemilu kita dapat dilaksanakan dengan mudah dan gampang.

Fenomena Suara Tidak Sah

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955. Banyak warga masyarakat yang menilai bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu terbaik dan paling demokratis sepanjang sejarah kepemiluan Indonesia. Salah satu alasannya adalah karena partisipasi masyarakatnya tinggi. Dan, tingginya partisipasi tersebut bukan karena mobilisasi melainkan kesadaran demokrasi. Berbeda dengan Pemilu sebelumnya, Pemilu 2019 merupakan babak baru bagi bangsa Indonesia. Untuk pertama kalinya penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang menyerentakkan pemilihan presiden dan wakil presiden dengan Pemilu legislatif. Artinya Pemilu 2019 melaksanakan 5 (lima) pemilihan secara bersamaan, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, pemilihan DPD, pemilihan anggota DPRD Provinsi dan pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu merupakan sarana melaksanakan kedaulatan rakyat. Pemilu juga merupakan pemberian legitimasi pemilih kepada legislatif atau eksekutif. Pemilu berarti pula, mendelegasikan sebagian kedaulatan rakyat kepada pemerintah dan lembaga perwakilan untuk membuat dan melaksanakan politik untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu suara rakyat dalam Pemilu menjadi penting keberadaannya. Karena melalui suara inilah mandat kedaulatan kepada eksekutif maupun legislatif diberikan, dengan cara mengonversi suara tersebut menjadi kursi. Namun demikian, faktanya dalam setiap Pemilu dan Pemilihan tidak semua suara yang diberikan pemilih merupakan suara sah. Suara yang dapat dihitung dan dikonversikan menjadi perolehan kursi. Masih terdapat suara yang tidak dapat dihitung karena merupakan suara tidak sah dan dianggap sebagai suara yang hilang. Jika kita melihat data perbandingan suara tidak sah antara Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 mengalami kenaikan. Suara tidak sah dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019 naik menjadi 2,4 % dari 1,0 %. Lalu, Pemilu legislatif 2019 naik menjadi 11,45 % dari 10,46 % Pemilu legislatif 2014. Kenaikan suara tidak sah bisa jadi berakibat pada kurangnya legitimasi terhadap hasil Pemilu. Sebagai negara yang Pemilunya bersifat hak (kesadaran) bukan bersifat wajib, tingginya suara tidak sah merupakan masalah yang krusial. Jika ditilik dari berbagai hasil penelitian, pola perilaku pemilih yang menyebabkan suara tidak sah, di antaranya: 1) surat suara tidak dicoblos karena pemilih tidak mengenal calonnya; 2) tidak mencoblos karena tidak menyukai calonnya; 3) mencoblos ganda karena pemilih menerima uang/barang dari beberapa calon; 4) mencoblos ganda karena ketidaktahuan cara mencoblos yang benar; 5) mencoblos ganda karena pemilih menyukai calon dan partai yang tidak dalam satu partai. Lebih luas lagi, jika kita melihat penyebab suara tidak sah, setidaknya beberapa faktor yang dapat diurai. Pertama, politik uang. Karena pemiliha menerima uang/barang dari calon akhirnya mereka bingung. Lalu, agar adil semuanya dicoblos. Kedua, jumlah calon banyak minim informasi. Jumlah calon yang banyak dalam Pemilu menyebabkan pemilih tidak mengenali dan bingung siapa yang dipilih dan bagaimana memilihnya. Karena mungkin mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup. Dan, ini sering terjadi pada Pemilu yang sistem daftar proporsional terbuka. Pemilu yang menampilkan seluruh calon legislatifnya dalam surat suara. Ketiga, bentuk protes. Karena ketidakpuasan terhadap kebijakan politik, pemilih melakukan protes melalui suara. Kemudian, yang keempat yaitu ketidakmampuan individu pemilih untuk memberikan suara yang benar. Rendahnya pengetahuan politik dapat menyebabkan pemilih sengaja membuat pemilih sengaja membuat surat suara tidak sah. Sebagai upaya untuk melakukan perbaikan agar suara pemilih yang merupakan mandat kedaulatan, yang akan diberikan kepada eksekutif maupun legislatif dalam rangka membuat kebijakan dan keputusan demi kesejahteraan rakyat, kiranya perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengindentifikasi pola yang menyebabkan suara tidak sah. Misalnya, dengan mengelompokkan pola penyebab suara tidak sah, menjadi tiga macam, yaitu blank votes dimana pemilih tidak memberikan penandaan apapun dalam surat suara, spoiled votes dimana pemilih dengan sengaja merusak surat suaranya seperti mencoblos lebih dari dua peserta pemilu atau menandai bukan dengan alat yang disediakan, dan mall administration dimana suara tidak sah disebabkan surat suara tidak ditandatangani oleh KPPS. Kedua, peningkatan profesionalitas penyeleggara Pemilu. Mengingat salah satu penyebab suara tidak sah adalah karena kesalahan penyelenggara, maka peningkatan kapasitas menjadi penting, terlebih di negara kita Pemilu masih dilakukan secara manual. Peningkatan kepasitas juga dalam rangka memberikan pemahaman kepada penyelenggara salah satunya kemampuan mengidentifikasi kategori suara sah dan suara tidak sah. Mengingat banyaknya pemilihan juga berpotensi menyebabkan kebingungan bagi penyelenggara—khususnya penyelenggara badan ad hoc —untuk menentukan mana suara sah dan mana suara yang tidak sah. Suara dalam Pemilu merupakan mandat kedaulatan rakyat yang harus dipastikan ketersampaiannya kepada yang diberi mandat. Selain itu juga harus dijamin proses penyampaiannya. Oleh karena penyelenggaraan harus dipersiapkan dengan sebaik dan seoptimal mungkin demi pelaksanaan Pemilu yang berintegritas. Tentu saja, ini bukan pekerjaan mandiri KPU, melainkan kerja kolektif semua pihak. Baik aktor utama Pemilu—meliputi, penyelenggara, pemilih dan peserta—maupun aktor pendukung—pemerintah pusat/daerah, kepolisian, TNI, dan kejaksaan. Semakin tinggi suara tidak sah, semakin tinggi pula suara yang hilang. Semakin tinggi suara hilang berarti legitimasi pemilih terhadap eksekutif maupun legislatif menjadi semakin rendah.

KPU dan Demokratisasi di Indonesia

Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Para pendiri bangsa telah bersepakat memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Dalam sejarah perjalanannya, bangsa Indonesia tidak selalu mulus. Berbagai rintangan dan tantangan terus menghadang, di antaranya adalah tantangan dari sistem lain. Meskipun sudah memasuki era reformasi, tantangan terhadap demokrasi masih terus berlangsung. Akibatnya, demokrasi di Indonesia berjalan tersendat, terkadang macet atau bahkan mundur, meski demikian kita harus mendorongnya untuk terus bergerak. Linz dan Stepan (1996) menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi tidak akan terwujud sampai nilai-nilai demokrasi dan institusi yang terkait dengannya terlembagakan sedemikian rupa sehingga orang-orang menganggapnya sebagai “the only game in town.” Artinya menjadikan demokrasi sebagai peralihan dari pemerintahan yang feodal menuju pemerintahan yang akuntabel dan transparan kepada publik atau dalam sebutan lain ialah good governance. Demokrasi yang terkonsolidasi kan setidaknya memiliki dua ciri, yaitu institusi demokrasi dan budaya demokrasi. Institusi demokrasi di dalamnya terdapat konstitusi, parlemen, partai politik, pemilihan umum, dan lain-lain. Sedangkan budaya demokrasi di dalamnya berisi aktivitas mendukung demokrasi, partisipasi politik, toleransi, kepercayaan, role of law, dan lain-lain. Jika melihat demokrasi bangsa Indonesia saat ini—era reformasi—kita akan melihat berbagai perubahan yang signifikan dibanding era sebelumnya. Sejak reformasi, institusionalisasi demokrasi semakin kokoh. Hal tersebut ditandai munculnya beberapa hal sebagai berikut: 1) Dilakukannya amandemen konstitusi menjadi lebih demokratis dan berorientasi kepada HAM; 2) Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan berjalan secara reguler atau rutin; 3) Partai politik berkembang secara subur; 4) Parlemen telah lahir kembali, tidak sekedar menjadi stempel atau justifikasi bagi eksekutif, sebagaimana masa Orde Baru, dan lain-lain. Meskipun sudah terjadi banyak perubahan, namun performanya masih mengecewakan. Di satu sisi institusi kita semakin kokoh, namun di sisi yang lain, budaya demokrasi kita masih terseok. Setidaknya kita dapat melihat beberapa indikasi budaya demokrasi kita yang masih rapuh, antara lain: 1) Korupsi yang merajalela di masing-masing tingkatan; 2) Kelompok yang tidak setuju terhadap sistem demokrasi yang semakin besar; 3) Partisipasi politik pemilih maupun masyarakat lebih disebabkan oleh mobilisasi dan ‘transaksi’, bukan atas dasar kesukarelaan; 4) Kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat, ras dan keyakinan ‘tampaknya’ masih rendah; 5) Rendahnya kepercayaan, baik vertikal (masyarakat-negara) maupun horizontal (sesama kelompok masyarakat), dan lain-lain. KPU dan Perannya Dalam penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan terdapat empat unsur pokok yang harus ada. Kalau salah satu dari empat unsur pokok ini tidak ada, maka tidak dapat diselenggarakan Pemilu maupun Pemilihan. Di antara empat unsur pokok tersebut, yaitu, pemilih, peserta, sistem dan badan penyelenggara atau penyelenggara Pemilu.  Pemilih adalah Penduduk yang telah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah pernah kawin, tidak dicabut hak pilihnya oleh pengadilan serta bukan merupakan TNI/Polri. Peserta ialah partai politik (pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota), pasangan calon (Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota, serta perseorangan (Pemilihan DPD). Sistem adalah suatu cara untuk mencalonkan, memilih dan menentukan pemenang. Kemudian, badan penyelenggara atau penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang ditunjuk untuk menyelenggarakan Pemilu maupun Pemilihan (KPU, Bawaslu dan DKPP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secara umum, tugas-tugas penyelenggara Pemilu dapat dibedakan sebagai berikut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas menyelenggarakan secara teknis. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu dan menangani dugaan pelanggaran Pemilu. Sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bertugas menangani dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini, KPU dan Bawaslu. Keberadaan penyelenggara Pemilu didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (5) pasca amandemen ke III tahun 2001 yang berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Lalu, dirinci dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam sistem ketatanegaraan kita KPU merupakan sedikit dari lembaga negara yang disebut dalam konstitusi, meski frasa tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan penyelenggara Pemilu. Selain itu, KPU merupakan lembaga negara tambahan (state auxiliary body), di luar cabang-cabang kekuasaan yang ada. Dan, KPU juga merupakan lembaga mandiri dan tidak menjadi bagian dari eksekutif (masa Orde Baru), legislatif, atau yudikatif. Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU mempunyai kewenangan dan menyelenggarakan tahapan Pemilu maupun Pemilihan. Beberapa kewenangan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pemilihan sebagai berikut: 1) Menetapkan tahapan, program dan jadwal (termasuk didalamnya hari H pemungutan suara; 2) Menyusun daftar pemilih; 3) Menerima pendaftaran, melakukan verifikasi, dan menetapkan peserta Pemilu (partai politik, pasangan calon, calon DPD); 4) Memfasilitasi kampanye; 5) Melaksanakan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara; 6) Menetapkan hasil Pemilu atau Pemilihan: suara, kursi, orang. Dalam proses demokratisasi di Indonesia setidak-tidaknya KPU memiliki peran. Di antaranya perannya yaitu, menyelenggarakan tahapan-tahapan Pemilu atau Pemilihan secara jujur, adil, dan transparan. Mendorong terpilihnya kandidat yang bersih dan anti korupsi. Melakukan pendidikan pemilih (voter education) yang rasional, agar penerimaan sistem demokrasi di masyarakat semakin luas dan semakin mendalam. Memerangi hoax, berita bohong, kampanye hitam dan isu SARA.  

Populer

Belum ada data.