.png)
Pendidikan Pemilih dan Tantangannya
Oleh Agus Hariono Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Kediri, kab-kediri.kpu.go.id - Ada ungkapan bahwa Pemilu di Indonesia merupakan pemilu terbesar di dunia. Sering disebut sebagai the biggest election in the world. Dalam konteks negara, Indonesia memang negara yang besar, penduduknya banyak, negaranya kepulauan dan geografinya juga berbeda-beda. Ini menjadi potensi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan Pemilu. Pada Pemilu 2019 lalu, kalau dilihat secara statistik ada sekitar lebih dari 192 juta pemilih. Sebanyak 300.000 kandidat yang tersebar mulai dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota. Ada 20.000 kursi yang diperebutkan atau yang dikontestasikan. Ada 2.000 daerah pemilihan mulai dari DPR RI sampai dengan DPRD kabupaten/kota. Ada sekitar 7 juta petugas penyelenggara mulai dari pusat sampai dengan badan adhoc. Ada sekitar 800.000 TPS dan ada sekitar 4 juta kotak suara. Jika dilihat dari statistik tersebut, Pemilu di Indonesia memang Pemilu yang sangat besar. Penyelenggaraan Pemilu yang sangat besar merupakan pekerjaan yang sangat bersar. Ia membutuhkan kerja-kerja ekstra dari penyelenggaranya. Perlu kerja sama dengan semua pihak, semua elemen, semua unsur yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat. Mengingat kerja penyelengga Pemilu adalah kerja kolosal. Kerja sama dan kerja bersama-sama. Kerja untuk membangun demokrasi Indonesia. Penyelenggaraan Pemilu tidak sekadar prosedural. Tidak sekadar terselenggara, tetapi diharapkan pemilihnya benar-benar berdaulat. Menjadi pemilih yang kritis. Menjadi pemilih yang berpartisipasi secara bermakna. Sehingga penyelenggaraan Pemilu ini bukanlah pekerjaan yang mudah yang dapat terselesaikan dalam waktu yang singkat. Pendidikan Pemilih Merujuk pada aceprojec.org ada beberapa istilah terkait dengan pendidikan pemilih, yaitu civic education (pendidikan kewarganegaraan), voter education (pendidikan pemilih) dan voter information (informasi pemilih). Maka dapat dikatakan bahwa tugas-tugas KPU ada pada ketiganya. Memberikan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pemilih maupun memberikan informasi kepada pemilih. Jika diurai, yang dimaksud dengan civic education pendidikan kewarganegaraan adalah proses yang berkelanjutan dia tidak hanya terbatas pada kesadaran warga untuk memilih, tetapi juga partisipasi warga yang lebih luas dalam demokrasi. Intinya menekankan pada hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara untuk berpartisipasi pada Pemilu maupun Pilkada. Jadi, ini merupakan proses yang relatif lebih panjang dan berkelanjutan. Sementara untuk pendidikan pemilih atau voter education berfokus untuk meningkatkan kesiapan pemilih untuk dapat berpartisipasi penuh dalam Pemilu. Juga menekankan bagaimana hubungan antara demokrasi dan Pemilu, serta hak dan kewajiban pemilih. Proses pelaksanaan Pemilu dikatakan genuine atau asli secara demokratis ketika warga negaranya berpartisipasi dan tahu makna suara yang diberikannya. Bahwa mereka mengetahui dan paham bahwa mereka punya satu suara yang bermakna. Satu suara dapat diibaratkan, “senjata untuk memberikan reward atau punishment.” Maksudnya adalah ketika misalnya pemilih senang dengan performa pemerintah, maka dapat berikan reward berupa satu suara berharga tersebut. Tetapi sebaliknya, ketika merasa tidak puas dengan performa pemerintah, maka dapat memberikan punishment dengan cara tidak memilihnya lagi. Hal tersebut juga merupakan salah salah satu hal yang ditekankan oleh Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan tentang keserentakan Pemilu. Yaitu pada putusan Nomor 14 Tahun 2013 termasuk juga pada putusan Nomor 55 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan menyerentakkan Pemilu adalah mendorong dan meningkatkan efikasi warga negara. Maksudnya adalah, ternyata menyadari bahwa suaranya bermakna dan bisa melakukan perubahan dengan cara memilih pemimpin yang baik atau mengganti pemimpin yang performanya tidak baik. Selanjutnya ada voter information atau informasi pemilih. Kalau voter information biasanya lebih sederhana. Yaitu terkait dengan kapan waktu Pemilunya, kapan hari-Hnya, apa syarat untuk bisa memilih, kapan jam buka dan tutup TPS dan sebagainya. Jadi lebih terkait dengan teknis pelaksanaannya. Prinsip Pendidikan Pemilih Dalam upaya pendidikan pemilih, ada pesan umum yang musti disampaikan adalah bagaimana kaitan antara Pemilu dan demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi penting ada Pemilu. Tetapi juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis luber jurdil sebagaimana terdapat dalam undang-undang. Dalam proses pelaksanaan pendidikan pemilih harus menjelaskan tentang peran, hak dan kewajiban pemilih. Karena sesungguhnya pemilih dapat berpartisipasi pada semua tahapan Pemilu, tidak sekadar hari-H pada saat datang ke TPS. Misalnya, mendorong transparansi dana kampanye peserta Pemilu, memastikan proses kampanye berjalan sesuai dengan aturan, turut mengawasi proses pemutakhiran data pemilih dan lain sebagainya. Sebagaimana juga sudah dilakukan oleh pemantau nasional maupun daerah, yang turut mendorong warga masyarakat untuk memahami arti penting suara dalam Pemilu, khususnya di tengah-tengah warga masyarakat yang apatis terhadap Pemilu. Yang juga tidak kalah penting adalah menyampaikan bahwa pentingnya kerahasiaan suara pemilih. Karena terkadang masih ada orang-orang yang atau pemilih-pemilih yang memilih bukan karena karena daulat, tetapi karena pengaruh dari kanan kirinya. Tentu kalau sekadar berdiskusi boleh-boleh saja, tetapi keputusan terakhir harus ada pada diri seorang pemilih. Memastikan suaranya benar-benar berharga dan rahasia. Dalam melaksanakan pendidikan pemilih, merangkul kaum muda untuk ambil bagian dalam melakukan pendidikan pemilih sangat penting. Jangan sampai jumlah mereka yang banyak hanya menjadi penonton. Menyaksikan gelaran Pemilu dari kejauhan. Sangat mungkin kaum muda ini memiliki inovasi-inovasi dalam memberikan pendidikan pemilih maupun informasi pemilih kepada teman-temannya yang sefrekuensi. Sehingga pelibatan terhadapnya dalam setiap tahapan Pemilu menjadi keniscayaan. Di samping itu, melibatkan komunitas-komunitas yang ada di dalam juga menjadi keharusan. Tiga Fokus Utama Tiga hal yang menjadi fokus utama adalah membangun kepercayaan melalui Pemilu yang transparan dan akuntabel, membuat informasi dan data Pemilu dapat diakses dan mendorong partisipasi serta inovasi pemilih. Adanya transparansi dari penyelenggara Pemilu itu bisa menumbuhkan partisipasi masyarakat. Ketika sudah melakukan pendidikan pemilih, maka diharapkan pemilih dapat lebih mudah mendapatkan informasi dan data Pemilu. Misalnya data kandidat yang seharusnya diketahui oleh pemilih. Adanya pertanyaan, kenapa banyak sekali kandidatnya? Kenapa ini ada lima kotak? Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab. Kenapa kandidatnya banyak itu juga penting disampaikan. Misalnya, karena di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Salah satu implikasinya adalah dalam surat suara ada banyak calon. Dalam hal ini penyelenggara Pemilu harus mampu memfasilitasi bagaimana pemilih bisa mengenali para kandidat. Karena kalau tidak, masyarakat tidak dapat membandingkan antara calon satu dengan yang lain. Masyarakat juga kesulitan ingin mengetahui visi dan misi para calon. Mencoba kristis pun juga akan kesulitan karena tidak memiliki akses. Kalau akses dibuka dengan mudah, maka masyarakat dapat mengetahui calon, dapat membandingkan antar calon, bahkan dapat mengkritisi para calon. Dengan dibukannya akses informasi, maka akan timbul kepercayaan terhadap penyelenggaraan Pemilu. Dampaknya Pemilu menjadi transparan da akuntabel sehingga mendorong partisipasi dan inovasi pemilih. Kreatifitas-kreatifitas akan terbangun ketika ada keterbukaan dari penyelenggara Pemilu. Tantangan Pemilu 2024 Tantangan Pemilu 2024 merupakan refleksi dari Pemilu 2019. Karena tidak ada revisi undang-undang Pemilu dan undang-undang Pilkada, maka sesungguhnya sudah dapat gambaran bagaimana kira-kira Pemilu 2024. Kurang lebihnya juga akan sama. Karena memang keserentakannya sama, Pemilu lima kotak sama dan di tahun yang sama diselenggarakan Pilkada meskipun pada bulan yang berbeda. Dari refleksi Pemilu 2019 sangat mungkin apa yang pada Pemilu 2019 juga akan terulang pada Pemilu 2024. Ada dua hal yang menjadi catatan Perludem pada hasil refleksi Pemilu 2019. Pertama, soal kompleksitas pemilih. Bagaimana kerumitan yang dihadapi oleh pemilih pada saat hari-H. Kedua, terkait dengan voter suppression atau upaya-upaya yang dilakukan untuk menghilangkan hak pilih seseorang atau kelompok tertentu. Terkait dengan kompleksitas pemilih tidak ada perubahan dari sisi regulasi. Pemilu lima kotak, sistem pemilu proporsional terbuka, dapilnya sama. Daerah pemilihan kategori besar dengan alokasi kursi 3-10 untuk DPR RI, 3-12 untuk DPRD kabupaten kota. Lalu, refleksi suara tidak sah pada Pemilu 2019. Angka suara tidak sah yang cukup tinggi pada Pemilu DPR dan DPD. Selain itu, Pemilih juga perlu memahami calon. Pemilih perlu mengenal caleg-caleg yang berpotensi di daerah pemilihan. Pada Pemilu 2019 lalu, beberapa lembaga melakukan surve pasca Pemilu. Misalnya, LIPI, salah satu hasilnya menyebutkan bahwa 60 % pemilih atau responden merasa kerumitan dengan Pemilu 5 kota. Ditambah fakta bahwa suara tidak sah cukup tinggi. Pada Pemilu DPR RI ada sekitar 11% suara tidak sah. Begitu juga dengan DPD, suara tidak sahnya tinggi. Untuk DPD sesungguhnya anomali karena DPD dari sisi surat suara sebanarnya ada foto calonnya, tapi justru surat suara tidak sahnya tinggi. Hasil riset yang akan dilakukan Perludem dengan Facebook di Indonesia terkait dengan voter suppression bahwa gangguan pada pemilih salah satu bentuknya adalah pengacauan informasi. Sebagaimana yang marak terjadi di Pemilu 2019 yaitu pengaturan informasi terkait dengan teknis pemberian suara. Ada informasi yang sengaja diplesetkan sehingga membuat orang salah memberikan suaranya, sehingga suaranya menjadi tidak sah. Pengacuan informasi ini tidak hanya terjadi pada saling serang antar calon, tapi juga menyerang penyelenggara Pemilu. Misalnya, berita hoaks yang viral pada waktu itu adanya 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos. Sekarang memang trendnya hoaks tidak hanya menyerang antar peserta, tapi juga kepada penyelenggara sebagai delegitimasi proses dan hasilnya.